Mencari Abaya Untuk Ke Kakbah
Cerita sebelumnya, bisa diklik di sini: [Mendatangi Tempat Dalam Mimpi]
Baiklah, mari menjadi lebih percaya diri. Aku harus mencari tahu bagaimana caranya bisa berdiri di depan Kakbah, bukan cuma di angan-angan.
Aku menelepon Mbak Maria. Mbak Maria adalah salah satu dari sedikit temanku di Belanda. Aku tidak punya banyak teman di sini karena aku memang tidak terlalu suka keluar rumah dan lebih senang menghabiskan waktu dengan anak-anak dan proyek websiteku saja. Mbak Maria adalah seorang Kristen yang taat. Aku mengenalnya saat kami sama-sama duduk di kelas bahasa Belanda. Aku mengatakan padanya bahwa aku ingin pergi umrah dan meminta tolong agar dihubungkan dengan temannya yang pernah pergi umrah dari Belanda. Mbak Maria memiliki banyak teman dari berbagai kelompok, seperti gereja, kelompok menyanyi, dan komunitas orang Indonesia. Mbak Maria yang selalu baik padaku itu sangat antusias. Dia menghubungkanku dengan temannya yang tidak tinggal di Enschede, tetapi setiap tahun pergi umrah dan juga sudah haji dari Belanda. Namanya Mbak Mira. Alhamdulillah.
Mbak Mira
Aku mendapat kontak Mbak Mira dan mulai berbicara dengannya. Aku menceritakan mimpiku, perasaan di hatiku, dan keinginanku untuk segera pergi umrah. Tidak butuh waktu lama bagi Mbak Mira untuk memberi komentar. Mbak Mira berkata, “Pergi. Kamu sudah ditunggu di sana.” Mbak Mira meneleponku dan menjelaskan apapun yang kutanyakan. Dia juga memberikan informasi tentang aplikasi yang harus kuunduh agar aku bisa belajar lebih mudah tentang umrah, tata cara, dan doa-doanya. Mbak Mira juga memberitahu bahwa nama pakaian panjang untuk umrah adalah abaya.
Tahun ini, Mbak Mira juga akan pergi umrah lagi di bulan November. Jika aku bersedia, Mbak Mira mengajakku untuk bergabung. Tawaran yang sangat menarik. Tentu aku senang bisa pergi umrah dengan orang yang berpengalaman seperti Mbak Mira. Tapi, suara dalam hatiku begitu kuat dan emosinya tak terbendung. November terasa terlalu lama. Aku harus pergi secepat mungkin.
Abaya
Aku merasa jalan menuju umrah mulai terbuka sedikit demi sedikit. Setelah percakapanku dengan Mbak Mira, aku segera mencari “abaya” di mesin pencari Google. Google menunjukkan banyak situs yang menjual abaya dengan model yang dikenakan oleh orang-orang berwajah Timur Tengah. Tentu saja aku ragu-ragu karena tubuhku yang kurus dan tidak berisi seperti mereka. Hehehe. Aku benar-benar tidak tahu ukuran apa yang harus kupilih untuk pakaian-pakaian yang terlihat sangat longgar itu.
Bu Yunus
Aku kemudian teringat seorang tetangga di Indonesia yang memiliki kelompok pengajian dan baru saja pergi umrah dari Indonesia. Namanya Bu Yunus. Dari Bu Yunus, aku diberi tahu bahwa ukuran abayaku adalah S. Aku juga diberi daftar barang-barang yang sangat berguna untuk dibawa saat umrah. Catatan Bu Yunus sangat rinci, mulai dari jumlah pakaian dalam yang harus dibawa, hingga kosmetik, kapas, dan gantungan baju ekstra. Sepertinya daftar ini Bu Yunus dapatkan dari tim leader umrahnya di Indonesia.
Mas Bas menyarankan agar aku mulai mencicil membeli barang-barang yang harus kubawa. Abaya ukuran S adalah yang paling mendesak dan penting untuk segera ada di lemariku.
Primark
Aku pergi ke toko baju Primark. Toko ini biasanya memiliki pakaian dengan ukuran longgar alias besar. Rasanya aku pasti bisa menemukan abaya di sana. Masa iya hanya daster polos kedodoran warna hitam saja tidak ada. Aku mulai merasa sok tahu, hehehe.
Bulan Januari adalah musim dingin di Eropa. Jadi, aku menuju ke rak sale. Baju longgar yang berkibar-kibar itu sepertinya koleksi musim panas. Kebetulan! Tuhan Maha Tahu hambanya yang hobi berhemat ini, hehehe.
Pagi itu aku berdiri di depan rak yang penuh dengan daster longgar koleksi musim panas yang diobral besar-besaran. Namun, musim panas selalu identik dengan warna-warna yang mencolok. Baju-baju panjang itu berwarna oranye, merah muda, kuning cerah, hijau stabilo, dan warna mencolok lainnya. Tidak ada yang berwarna hitam dan modelnya juga tidak seperti yang sering kulihat di Instagram orang-orang yang pergi umrah. Hampir semua baju panjang di depanku tipis, menerawang, dan penuh dengan motif yang meriah. Aku ragu-ragu dan kembali terjebak dalam ketidaktahuanku.
Aku mengambil satu baju panjang, memandanginya, lalu mengembalikannya ke rak. Begitu berulang kali. Dalam hati, aku mencoba berkomunikasi dengan Tuhan. “Tuhan… aku mau beli abaya. Abaya itu seperti apa? yang seperti apa? Kasih tahu aku.” Kemudian aku hanya diam memandangi rak-rak baju diskon itu.
Humaira
Beberapa menit kemudian, seorang perempuan berwajah Timur Tengah dengan kerudung pasmina sedang memilih-milih baju di rak yang sedang kupandangi. Aku menyapanya sambil berdoa dalam hati agar dia bisa berbicara bahasa Belanda atau Inggris. Bismillah.
“Hallo, maaf, boleh aku bertanya sesuatu?” tanyaku dalam bahasa Belanda. Dia melihatku dengan ramah dan menjawab dalam bahasa Belanda juga. Alhamdulillah. Aku melanjutkan pembicaraan dengan mengatakan bahwa aku ingin membeli abaya dan berniat pergi umrah. Perempuan yang kemudian kutahu bernama Humaira itu terkejut dan membesarkan matanya. Dia berkata, “Kok bisa kebetulan sekali. Aku baru pulang dari umrah empat hari yang lalu.” Dia bertanya dengan kelompok masjid mana aku akan pergi, dan kujawab bahwa aku tidak punya kelompok masjid.
Tuhan akan menuntunmu
Humaira mengelus pundakku. “Tidak apa-apa. Tuhan akan menuntunmu.” Kemudian, Humaira menjelaskan tentang abaya. Dia juga menambahkan bahwa aku harus menyiapkan perlengkapan mandi dan kosmetik yang 0% parfum. Jangan lupa membawa gunting kecil untuk memotong rambut. Kosmetik 0% parfum bisa dibeli di supermarket atau toko obat. Beli yang murah saja karena hanya akan dipakai saat umrah. Selesai umrah, aku boleh menggunakan kosmetik yang biasa kupakai sehari-hari.
Humaira menyarankan untuk membawa empat abaya saja. Jangan terlalu banyak, jangan menyusahkan diri sendiri dengan barang bawaan. Warna hitam dan pastel adalah yang paling baik dibawa. Jangan yang menarik perhatian, meskipun sebenarnya boleh saja. Kita datang ke tempat suci untuk beribadah, bukan untuk fashion show. Datanglah dengan sederhana, sesederhana saat kita datang ke dunia.
Humaira juga berjanji akan mencari tahu apakah aku bisa ikut dengan kelompok masjidnya untuk umrah berikutnya. Aku memberinya nomor teleponku agar dia bisa menghubungiku untuk informasi lebih lanjut. Saat aku mengucapkan terima kasih, Humaira berkata, “Tidak usah berterima kasih. Aku senang bisa membantumu. Kamu tahu, Diah? Tidak ada sesuatu yang kebetulan. Kita bertemu begini karena sudah diatur Tuhan.” Aku meninggalkan Humaira dan Primark sambil meneteskan air mata. Kok bisa pas gitu, ya?
Akhirnya, aku tidak jadi membeli apa-apa. Rok-rok panjang itu tidak bisa disebut abaya. Memang harus beli online.
(Bersambung)
Mari berkolaborasi dengan Twinkle So Bright. Anda bisa menjadi penulis tamu di blog kami, berpartisipasi dalam kolaborasi blog berbayar yang terjangkau, mempromosikan produk dan layanan Anda, hingga memanfaatkan layanan titip belanja eksklusif kami.