Hadiah Dari Bapak
Bahasa Indonesia

Hadiah Dari Bapak

Ketika aku lahir, Bapak dan Ibu masih tinggal di kontrakan kecil di sebuah gang sempit di Karangrejo, Wonokromo. Pendapatan Bapak saat itu tidak seberapa. Tapi sejak aku lahir, rasanya aku menjadi hal paling berharga yang pernah dimiliki Bapak. Bapak membelikan boneka Woodie untukku, dengan harga sebesar gaji sebulan penuh. Boneka itu asli, impor, bukan dari pasar.

Woodie dari Bapak


Jalan-jalan Bersama Bapak

Eyang di Madiun, ibunya Ibu, sudah bersiap menunggu Bapak pulang untuk membawa ari-ari ku. Ari-ari itu akan dicuci dan ditanam di sekitar rumah. Namun, hingga hampir Maghrib, Bapak belum juga tiba. Rupanya, Bapak membawa ari-ari itu dalam wadah tanah liat untuk dipamerkan kepada teman-temannya di kos-kosan mereka. Bukan hanya kabar kelahiranku yang Bapak ceritakan, tetapi juga ari-arinya ia tunjukkan. Cerita ini, entah bagaimana, seolah menjadi ramalan hidupku hari ini, bahwa aku akan pergi jauh dari rumah. Mungkin karena dulu, Bapak membawa ari-ari ku berkeliling sampai hampir Maghrib. Andai Maghrib tak pernah tiba, mungkin Bapak masih akan terus berjalan-jalan bersamanya.

Bapak dan Ibu terpaut usia 12 tahun. Waktu itu, Ibu masih sangat muda, baru 20 tahun. Bapak memang punya pekerjaan, tetapi jika dibandingkan dengan kakak-kakaknya, penghasilannya bagai bumi dan langit. Salah satu kakak Bapak, yang kedua, adalah orang yang sangat sukses, berpendidikan tinggi dan sering bepergian ke luar negeri. Bahkan sejak aku masih dalam kandungan, beliau sudah sering “nembung” kepada Bapak dan Ibu: “Boleh aku asuh anakmu nanti?” Beliau sudah menikah lama, tetapi belum dikaruniai anak. Mendengar itu, Bapak hanya tertawa.




Hadiah Berikutnya

Ketika aku lahir, kakak Bapak datang lagi, membawa rok-rok mahal dari luar negeri. Barang yang Bapak tak mungkin mampu membelinya. Beliau kembali menyampaikan niatnya untuk mengasuhku, ingin membawaku hidup di Jakarta, di rumah besar yang, konon, ada pianonya. Bayangkan, rumah dengan piano di masa itu. Masha Allah! Tapi Bapak hanya tertawa lagi. Baru pada kunjungan berikutnya, Bapak dengan hati-hati berkata tidak. Aku pun tumbuh bersama Bapak dan Ibu di gang sempit dekat pasar Wonokromo, di mana musim hujan paling pas hanya memakai sandal jepit. Jalanan jembrot, paving sering hilang, dan got terbuka di sana-sini. Tak perlu gaya-gayaan pakai sepatu bagus.

Aku lahir tidak langsung dibawa pulang. Aku kuning. Ibuku sudah pulang, tetapi aku masih dirawat di RKZ beberapa waktu. Ketika akhirnya aku diizinkan pulang, Bapak langsung berlangganan majalah Bobo. Baru setelah aku pindah ke Belanda, aku tahu bahwa Bobo ternyata sangat terkenal di Belanda dan Belgia. Aku menganggapnya sebagai hadiah berikutnya dari Bapak.

Bapak Tidak Pernah Pergi

Perlahan, Bapak berhasil membawa kami keluar dari gang sempit itu. Kami pindah-pindah ke rumah yang lebih baik, hingga akhirnya Bapak membangun rumah terbesar yang pernah ia miliki. Rumah bertingkat, ada penangkal petirnya, saat itu sangat tidak umum. Tapi, rumah itu pun harus dijual. Pada akhirnya, Bapak tinggal di rumahku hingga akhir hayatnya.

Ketika aku pindah ke Belanda, tak banyak yang bisa kubawa. Hanya koper berisi baju kebaya dan buku belajar bahasa Belanda. Namun, aku tetap membawa boneka Woodie hadiah pemberian Bapak saat aku lahir. Boneka itu sudah sangat lapuk, dengan jahitan Ibu di sana-sini, ditambah tisikan tanganku sendiri karena kainnya semakin usang.

Pagi ini, aku menemukan bagian boneka yang sobek lagi. Aku berencana menisiknya. Sambil menisik, aku teringat banyak kenangan tentang Bapak. Maka, kucatat semuanya di sini. Siapa tahu Bapak membaca tulisanku ini dari rumah Tuhan. Ternyata, Bapak tidak pernah benar-benar pergi.

Al-Fatihah
(Kemudian, air mata deras berjatuhan.)


Explore collaboration opportunities with Twinkle So Bright, including guest writing, paid blog collaborations, advertising your products and services, or taking advantage of our shopping service.

 



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *